Senin, 11 April 2011

Mahasiswa Yang Terfragmentasi

Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu menorehkan kata-kata dalam sejarah yang tidak sedikit. Bagaimanapun, mahasiswa memang selalu memberikan adil dalam berbagi momentum kebangkitan bangsa-bangsa. Tak terkecuali di negeri Indonesia sendiri. Akar sejarah pergerakan pemuda dan mahasiswa sudah dimulai dari zaman penjajahan Belanda. Banyak buku sejarah menyatakan bahwa Boedi Oetomo merupakan salah satu cikal bakal gerakan mahasiswa pertama yang mengusung isu nasionalsime dan berdiri besar, walaupaun banyak ahli sejarah masih memperdebatkan hal tersebut. Terlepas dari semua itu, hal demikian merupakan bukti eksistensi gerakan mahasiswa dan paradigmanya yang cenderung kritis dan berbasis intelektual.
Mencermati alur pergerakam mahasiswa, kita seakan merasa takjub dengan kekuatan mahasiswa. Bagaimana mahasiswa dengan kekuatannya mampu menjatuhkan rezim Soekarno pada tahun 1966. Lalu kita juga akan merasa takjub pula dengan aksi heroik mahasiswa yang turun ke jalan sepanjang tahun 1998 dan membuahkan hasil yang luarrr biasa pula, reformasi. Sebuah perubahan yang tidak main-main bagi sebuah bangsa yang labil macam Indonesia. Reformasi Indonesia bisa dikatakan tidak terlalu terlambat, dibandingkan dengan reformasi negara-negara timur tengah yang baru bergejolak belakangan ini. Luar biasa mahasiswa!
Namun kadang kita lupa untuk menelaah lebih lanjut, apa dan bagaimana gerakan mahasiswa mampu sedemikian hebatnya. Kita seringkali terjebak pada euforia kekaguman, kemudian merasa beruntung memiliki pendahulu yang demikian. Kita lantas lupa perjuangan-perjuangan untuk menciptakan momentum yang demikian bukanlah hal instan. Bargaining position yang demikian tidak lantas terjadi secara tiba-tiba. Ada fase-fase yang telah mendorong mahasiswa mampu bersikap tegas dan total.
Sebuah gejolak yang digawangi mahasiswa selalu diawali dengan permasalahan. Pernyataan ini tidak salah, namun jua tidak mutlak benar-benar terjadi. Di tahun 1966, kita mengetahui bersama bagaimana kondisi politik, sosial, ekonomi Indonesia telah mampu mendorong mahasiswa turun-turun aksi ke jalan. Aksi yang dimaknai sebagai ‘penyempurna kemerdekaan’. Aksi heroik ini kemudian tergantikan dan menghilang dengan sendirinya aura aura semangat dengan kebijakan NKK BKK yang ada. Tak bisa dipungkiri, mahasiswa diberangus kekritisannya, walau demikian di beberapa kampus kebijakan NKK BKK ini tidak sepenuhnya berlangsung. Kebijakan yang diambil adalah memecah suara-suara dan massa mahasiswa dari semual yang bersatu padu menjadi terfokus pada lokus-lokus kecil setara fakultas, jurusan, ataupun prodi. Lembaga mahasiswa seperti Dewan Mahasiswa dibekukan, sebagai gantinya dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang lucunya dikepalai oleh seorang dosen. Pada kenyataannya memang, hal demikian tidak berjalan. Di banyak kampus, BKK masih dipegang pula oleh mahasiswa. Ini menjadi salah satu bukti bahwa dosen, dekanat, dan rektorat pada masa tersebut masih sejalan dengan mahasiswa. Lalu bagaimana dengan sekarang??
Mahasiswa Yang Terkotak-Kotak
Fakta di lapangan membuktikan bahwa mahasiswa sekarang memiliki tingkat ketidakpedulian yang lebih tinggi dibanding masa-masa yang lampau. Jika pada masa NKK BKK ada suatu upaya untuk menekan mahasiswa dan hanya menyibukkan mahasiswa dengan kegiatan akademis, jika sekarang mahasiswa-mahasiswa justru telah ter’autis’kan dengan dunia akademik. Poros dari pemikiran mahasiswa tidak pernah jauh dari dunia akademik. Tidak salah. Tapi ini juga membuktikan bahwa NKK BKK model baru yang telah berhasil merubah paradigma mahasiswa yang kritis menjadi apatis.
Posisi yang seperti ini menjadi salah satu kelemahan dari gerakan-gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa seringkali telah menciderai visi besarnya, lupa, bahkan hanya menyibukkan dengan hal-hal yang remeh temeh. Maka terjawab sudah pertanyaan besar kita, kenapa bargaining position mahasiswa sekarang sangat lemah. Mahasiswa bukan tidak lagi tidak didengar suaranaya, tapi sudah diacuhkan sama sekali. Inilah permasalahan utama mahasiswa, terkotak-kotak dalam dunianya masing-masing. Seakan ada sekat yang nyata antara satu gerakan dengan gerakan lain, antara satu lembaga dengan lembaga lain. Lalu masing-masing bangga dengan identitas gerakan/lembaga tanpa kita melihat substansinya.
Sebuah malapetaka ketika mahasiswa saling menyerang satu sama lain. Padahal toh substansi yang diperjuangkan serngkali sama, hanya berbeda point of viewnya saja. Bisa jadi ini sebuah refleksi, pola pengkotak-kotakan dan adu domba ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Pada kenyataannya bangsa Indonesia, lebh spesifik lagi mahasiswa dan pemudanya justru jatuh pula di lubang yang sama. Mengenaskan...
Eksistensi Identitas Lembaga
Kembali lagi ke permasalahan awal, bahwasanya kekuatan mahasiswa ‘ditakuti’ ketika mahasiswa dapat terhimpun dalam satu ‘barisan’. Karenanya, kebijakan pemecahan kekuatan mahasiswa dalam lokus-lokus kecil, menjadikan mahasiswa lemah, lemah dalam gerakan pemikiran, massa, jua kekritisannya. Setidaknya ada beberapa hal, yang menurut penulis telah menimbulkan fragmentasi mahasiswa dan gerakan mahasiswa.
Yang pertama adalah paham kelembagaan. Dalam sejarah pergerakan mahasiswa, kita mengenal adanya banyak gerakan mahasiswa yang berdiri membersamai sejarah pergolakan Indonesia. Sebut saja PMMI, PMII, HMI, GMNI, PMKRI, Gemsos, CGMI, dan sebagainya. Pada masa itu, aktivis gerakan menekankan dasar dari perbedaan dari gerakan mereka adalah asas dan ideologi yang berbeda. Memang tidak bisa dinisbahkan bahwa apa yang disebut prinsip tak mungkin dicampur baur. Namun permasalahannya, ketika mahasiswa berbenturan dengan permasalahan yang sama atau bisa kita sebut ‘musuh bersama’. Akan sangat luar biasa ketika mahasiswa dapat bersatu dalam satu frame yang sama dalam menghadapi ‘musuh bersama’ tersebut.
Namun yang terjadi seringkali melupakan substansi perjuangan dan tersibukkan dengan hal hal remeh seperti eksistensi lembaga atau gerakan yang dibawa. Kita tengok sejenak masa NKK BKK yang berusaha memecah paduan suara-suara mahasiswa ke dalam lokus-lokus yang lebih kecil dan dekat dengan dunia akademik, ke dalam perhimpunan fakultas, jurusan, dan prodi. Suara-suara yang kecil yang seharusnya bisa tersatukan dalam wadah perjuangan yang sama menjadi terpecah dengan mengedepankan eksistensi ‘nama lembaga’.
Pada era 1966, muncul Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian menjembatani perbedaan ideologi dan prinsp kelembagaan. Bisa jadi, kita sekarang membutuhkan hal yang sama, penyamaan gerak dalam menghadapi ‘musuh bersama’.
Permasalahan yang kedua adalah tidak adanya ‘musuh bersama’. Jika kita kembali merunut sejarah, ada pressure yang kemudian menimbulkan gejolak bagi mahasiswa dalam sejarah-sejarah pergerakan mahasiswa. Kenyataan di lapangan saat ini yang kita lihat, mahasiswa seakan enjoy dengan aktivitas kampus yang itu-itu saja, kuliah-kantin, praktikum, laporan. Orientasi mahasiswa sekarang adalah IP tinggi, lulus cepat, kerja enak. Pragmatis. Mahasiswa secara tidak sadar telah mengalami pergeseran paradigma dan penyempitan fungsi ke’mahasiswa’an. Kecenderungan pragmatisme mahasiswa yang juga cenderung apatis ini, mahasiswa seakan tidak memiliki ‘musuh bersama’. Dalam artian, mahasiswa seakan-akan merasa tidak ada permasalahan dengan bangsa ini maupun dengannya.
Inilah kemudian yang memecah mahasiswa ke dalam berbagai fragmen dengan pola pikirnya masing-masing. Ada yang berorientasi kesenangan hidup semata dengan budaya hedonismenya, mahasiswa yang study oriented; mengejar kelulusan cepat dan IPK tinggi namun seringkali melahirkan intelktual yang prematur, mahasiswa yang sok dengan aktivitas organisasinya; yang menduakan kuliah dan merasa menjadi kaum yang tersadarkan karena tidak terbelenggu arus pragmatis atau ada pula mahasiswa pragmatis kelas berat; hanya bergabung ketika menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Inilah yang terjadi dalam tubuh mahasiswa sekarang. Pemberangusan ide-ide kritis secara tidak langsung. Praktis, pragmatis, dan instan. Lemah pula bargaining positionnya. Tidak baik memang berandai-andai, sebuah harapan lebih tepat, semoga kedepannya mahasiswa dapat menyatukan gerak, dengan keragaman ideologi dan gerakan/lembaga. Semoga bukan semakin merenggangkan nilai-nilai intelektualitas mahasiswa, namun justur memberikan kancah sumbangsih ide yang lebih besar demi Indonesia yang lebih baik. Marilah kita belajar untuk saling menerima perbedaan, laluu merumuskan ke dalam arah gerak yang sama. Toh, musuh kita sama, kebathilan, kejahatan, kebobrokan. Jika mahasiswa masih terfragmentasi, terkotak-kotak dengan sekat-sekat yang berbeda, maka tunggu saja hancurnya bangsa ini. Wallahu’alam. [novi]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Designed by: bang uud and aziz anak kos