Jumat, 06 Mei 2011

Tidak Hanya NII, Tulisan Juga Bisa Menyesatkan

Yogyakarta (5/5) - Menulis itu pentingkah? Sebuah pertanyaan yang sederhana mengawali ‘Diskusi Media’ sore itu. Bertempatan di sekretariat BEM KM FGE, diskusi yang digawangi departemen Media Opini Publik mencoba menelisik lebih jauh, pentingkah menulis itu? Dengan mengambil tema ‘Mahasiswa & Budaya Menulis’ diskusi tersebut menghadirkan narasumber Wisnu Prasetya Utomo, Pimpinan Umum BPPM Balairung 2010.

Menulis itu penting, begitu kesimpulan sederhana yang bisa diambil dalam dialog singkat di awal diskusi. Namun yang menjadi permasalahan memang bukan pada pemahaman kita bahwa menulis itu penting, tapi kita seringkali kita terlanjur menjudge bahwa menulis itu susah. Apa pasal?

Ketika ditelisik lebih lanjut, yang menjadi alasan utama menulis terkesan susah adalah kemauan kita yang setengah-tengah. Atau bahasa lebih mudahnya rasa males kita. Lebih jauh, disebutkan juga oleh peserta diskusi bahwa seringkali ketika menulis kita kekurangan referensi, takut karyanya dicela, tidak tahu apa yang mau ditulis, dan sebagainya. “Bisa juga karena menulis bukan hobinya, makanya menulis menjad sulit,” tambah Izzudin, Ketua BEM KM Fakultas Geografi.

Mas Wisnu, begitu panggilan akrab sang narasumber menyebutkan bahwa ketika di bangku SMA dirinya mengaku tidak menyukai dunia tulis menulis. Bahkan membaca pun enggan. Namun apa daya, tuntutan dunia kuliah di Ilmu Komunikasi mengharuskannya untuk bisa menulis dan berbicara telah merubah dirinya. Dimulai dari blog ‘tugas’ wajib sebuah matakuliah, akhirnya menulis menjadi salah satu hal yang dikuasainya.

Ada dua tips sederhana yang diberikan oleh Mas Wisnu dalam menulis. Yang pertama adalah jangan takut menulis. Tulislah apapun yang ada di dalam kepala kita, toh semua manusia sama. Kita sama-sama dibekali dua puluh enam huruf latin dan sepuluh angka. Yang seringkali membuat kita sulit menulis adalah karena kita menetapkan standar tersendiri bagi karya kita. kita seringkali berpikir-pikir apakah tulisan kita dapat diterima orang lain atau tidak. Maka dari itu, mulailah menulis untuk diri sendiri. Anggaplah kita seperti anak kecil yang polos, lugu, dan jujur dalam menyampaikan sesuatu.

Yang kedua adalah menulislah layaknya berbicara. Seringkali dalam menulis kita terlalu banyak berpikir dan menimbang kata. Akan baiknya jika kita mulai belajar menulis dengan gaya spontanitas. Kenapa demikian? Karena ketika berbicara kita tidak terlalu banyak menimbang kata. Selain melatih spontanitas, kita juga dapat melihat konsistensi kita dalam menulis.

Rekam Momentum Yang Ada

Mulailah menulis dari hal-hal yang sederhana. Sebagai contoh, menulis buku harian. Mas Wisnu menyebutkan pula beberapa tokoh yang cukup menjadi panutan baginya, seperti Pramudya Ananta Toer, Hellen Keller, dan Anne Frank. Menurutnya, kita sebagai seorang mahasiswa dengan fasilitas yang sangat memadai mulai dari laptop, hape, internet seharusnya lebih bisa produktif dibandingkan tokoh-tokoh yang disebutkannya.

Karena tokoh-tokoh tersebut telah mampu melahirkan masterpiece dalam keterbatasan. Lalu kenapa kita tidak?

Kadangkala ketika kita menemukan momentum-momentum di mana muncul sense untuk menulis, seringkali tidak pula sesuai waktu dan tempatnya. Ketika kita berjalan, sedang berbicara dengan teman. Pada saat demikian ada rasa yang sangat ingin kita tuangkan dalam rangkain kata-kata. Jika hal tersebut terjadi, maka rekamlah memori tersebut. Rekamlah momentum yang ada, bisa dengan hape kita, catatan kecil, dan sebagainya. Intinya, jangan pernah kita kehilangan momentum.

Kemudian muncul pertanyaan dari Adi Artanto, mahasiswa KPJ 2010 yang lebih akrab dipanggil Aki, bagaimana dengan menulis naskah drama. Dalam menulis naskah drama, mas Wisnu menyebutkan tidak berbeda jauh dengan menulis karya tulis lainnya, entah ilmiah seperti paper, jurnal atau karya tulis populer yang sering kita kenal dengan karya fiksi, bahwa intinya Cuma satu, kita harus mampu membaca lapangan.

Tak berbeda dengan karya ilmiah, karya tulis fiksi juga membutuhkan data dan fakta yang ada di lapangan. Baru kemudian diolah dan dijadikan referensi dalam membuat perwatakan, alur, dan sebagainya. Mas Wisnu mengambil contoh tokoh Minke dalam Tetralogi Buruh karangan Pramudya Ananta Toer yang cenderung menggambarkan tokoh nyata Tirto Adi Surjo, seorang dedengkot dunia media yang menggawangi terbitnya media berbahasa Melayu.

“Lalu bagaimana kalau kita belum punya niatan untuk menulis?” tanya Eni, mahasiswa PW 2010. Ia menganggap bahwa pembahasa dari awal sudah mengkererucut ke arah bagaimana menulis, sedangkan ia mengaku tidak begitu ingin menyampaikan sesuatu dalam tulisan.

“Kalau begitu jangan menulis,” begitu jawab narasumber. Kenapa? Menulis dalam kedaan terpaksa bukanlah hal yang baik. Ketika memang tidak ada kemauan sama sekali untuk menulis, ya tidak usah menulis. Lakukanlah hal lain, seperti banyak-banyaklah membaca, menonton film, diskusi, menggosip. Kalau dianalogikan sebagai sebuah cangkir, ketika diisi terus menerus tentu akan tumpah isinya dan tidak bisa diisi lagi. Sama halnya dengan menulis dan penulis. Ketika seseorang terlalu banyak mendapat ilmu tanpa berusah membaginya, maka yang terjadi ilmu yang ada di kepala kita bisa saja hanya menjadi sampah, tak berguna.

Satu titik tekan yang harus kita pahami adalah, ketika kita berani menulis, maka kita juga harus berani mempublikasikannya. Dengan demikian tulisan yang kita buat tidak hanya menjadi konsumsi pribadi.

Tulisan Bisa Juga Menyesatkan

Sebagai guyon, Mas Wisnu menyebutkan bahwa ia seringkali iri dengan mahasiswa Geografi. Karena teman-teman Geografi memiliki basis kajian Lingkungan yang luar biasa. Masih pula ditambah dengan praktik di lapangan, KKL, KKN, tentunya menjadi hal yang luar biasa jika kemampuan menulis mahasiswa dikembangkan.

Kalau kita cermati pemberitaan media terkait musibah Merapi, kita bisa melihat adanya kepanikan massal yang didorong oleh media. Apa pasal? Bisa jadi hal tersebut terjadi karena tidak ada wartawan yang paham benar mengenai mitigasi bencana. Inilah kenapa media membuthkan penulis (wartawan) yang tidak hanya paham masalah dunia tulis menulis atau reportase belaka tapi juga mengenai masalah yang sedang diangkat.
Jika tidak demikian, tulisan bisa jadi acuan yang menyesatkan. Jadi tidak hanya NII yang sesat, begitu tuturnya. Tulisan juga bisa menyesatkan jika tidak ditulis oleh yang paham benar permasalahannya.

Permasalahan menulis itu sebernarnya adalah hal yang sederhana. Yang perlu kita lakukan hanyalah terus berlatih menulis dan menulis. Cukup itu saja. Terakhir, mas Wisnu menutup diskusi dengan sebuah kutipan dari Pramudya Ananta Toer, ‘menulis itu bekerja untuk keabadian’. [novi]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Designed by: bang uud and aziz anak kos