Kita mahasiswa. Betulkah??
Apa yang salah ketika mahasiswa begitu mencintai dunia akademik? Rajin datang kuliah, mengerjakan tugas tepat waktu, menyiapkan diri untuk nilai-nilai yang bagus, dan begitu fokus pada pengembangan akademik-intelektualnya.
Sebenarnya memang,tidak ada yang salah dari semua itu. yang menjadi masalah adalah, mahasiswa seringkali lupa untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya. Atau lebih tepatnya, mahasiswa ‘khusyu’ menimba ilmu namun aplikasinya seringkali nol besar. Itu baru salah satu contoh kawan. Mari kita membahas secara lebih sistematis lagi.
Istimewanya Mahasiswa
Kalau mau kita cermati benar-benar, mahasiswa adalah sedikit dari prosentase penduduk Indonesia yang mampu mengecap dunia pendidikan sampai level atas. Ini adalah salah satu poin penting yang harus kita cermati. Lantas?? Dengan begitu, kita adalah sedikit dari kebanyakan orang yang seharusnya ‘tercerahkan’. Dalam artian, kita telah diberi kesempatan dalam akses pengembangan basis intelektualitas kita. Dan dengan demikian pula, (seharusnya) kita telah terbebani tanggung jawab yang lebih dalam kemajuan di Indonesia ke depannya nanti. Sayangnya, benarkah akses intelektualitas yang lebih benar-benat menciptakan intelektual yang kompeten? Ini juga menjadi masalah besar, ketika basis pengembangan intelektualitas tidak benar-benar teraplikasikan dengan baik. Atau bisa diartikan budaya instan seringkali menciptakan intelektual muda yang prematur. Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal ini, karena yang menjadi titik tekan tulisan ini ada pada permasalahan identitas mahasiswa yang mulai luntur.
Dari poin utama di atas, kita bisa memahami mengapa kemudian kita seharusnya menjadi sosok yang lebih peduli (baca : kritis) dengan kondisi bangsa ini. ya, karena kita telah ditakdirkan untuk berilmu lebih. Dan orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan lebih memiliki tanggung jawab yang lebih pula. Regenerasi pemimpin adalah suatu keniscayaan. Yang tua tentu akan digantikan oleh yang muda. Sekarang, esok, atau masih lusa nanti. Tapi yang jelas itu adalah suatu kepastian. Yah, mahasiswa adalah sosok-sosok yang istimewa. Luar biasa istimewa. Mari kita cermati kenapa bisa demikian
Yang pertama adalah basis Intelektual profetik. (intelektual profetik-meminjam istilah dalam paradigma KAMMI). Mahasiswa seharusnya mendasarkan pola pikir, tindakan, dan ucapannya berdasarkan nilai-nilai keilmuan dan nalar yang tinggi. Artinya, semua perilakunya didasarkan pada pemahaman akan dunia akademisnya. Ilmu yang dipelajari dalam bangku kuliah tidak sekadar mandeg dalam urusan nilai dan pekerjaan, tapi juga dalam merumuskan ide-ide besar pembangunan bangsa ini. Pembangunan wacana berbagai permasalahan hidup seharusnya dikembalikan pada nalar yang sehat tanpa menciderai keimanan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan YME.
Yang kedua adalah Agent of change. Mahasiswa dengan kesadaran akan kelebihannya mengenai ilmu, lantas menerapkan nilai-nilai kehidupan. Mahasiswa dan pemuda lantas menjadi garda depan perubahan. Perubahan dalam hal apa? Tentu perubahan menuju perbaikan bangsa. Karenanya sikap seorang mahasiwa sepatutnya dipertanyakan ketika bangsa ini memiliki banyak permasalahan.
Yang ketiga, Moral force. Kekuatan moral, idealisme menjadi salah satu poin keistimewaan mahasiswa. Luar biasa mahasiswa! Yah, idealisme seringkali menjadi harga mahal harta karung yang susah dicari dalam diri mahasiswa hari ini. apa pasal? Budaya instan, hedonisme, pragmatis, oportunis ternyata lebih mampu menarik hati mahasiswa dibandingkan idealisme yang membara. Padahal, idealisme seringkali menjadi benteng kokoh mahasiswa dalam menyuarakan permasalahan bangsa. Kekuatan moral yang mendorong mahasiswa untuk terus berbicara, bahwa hitam adalah hitam,dan putih adalah putih. Maka kemudian, terlahirlah parlemen jalanan.
Banyak kalangan yang menganggap parlemen jalanan adalah bentuk terburuk mahasiswa. Aksi-demo-anarkis. Padahal kalau mau kita cermati, justru disinilah titik tekan keistimewaan mahasiswa. Menggabungkan antara dunia akademis, kecerdasan moral, idealisme, dan semangat perubahannya.
Yang keempat, Iron stock. Sudah menjadi fitrah yang zaman akan terus berputar. Bisa dipastikan yang muda akan mengganti yang tua. Inilah posisi kita, kita yang suatu saat nanti menjadi pemimpin bangsa ini. karenanya, menjadi penting bagi seorang mahasiswa ia tidak hanya menguasai dunia keilmuan, tapi juga skill kepemimpinan. Menjadi pemimpin tentu bukan hal yang mudah. Yang menjadi masalah adalah ketika pemimpin yang lahir dari mahasiswa tidak memiliki nafas mahasiswa sama sekali. Dalam artian, lebih mengedepankan ego pribadi, dsb.
Yang Salah Yang Berubah
Gabungan dari 4 poin di atas adalah idealnya sosok mahasiswa. Tapi, mencermati lebih lanjut benarkan potensi-potensi di atas masih bisa dengan mudah kita jumpai dalam diri mahasiswa? Miris memang melihat kenyataan. Ketika basis pengembangan intelektual hanya omong kosong belaka. Dunia akademik yang menuntut akselarasi tingkat tinggi, ternyata menghasilkan pemimpin yang tidak becus menangani masalah pribadinya sendiri. Contoh konkrit, ketika kuliah ternyata sekadar mengejar nilai, tapi ternyata otaknya kosong melompong, tak paham ilmu tentu pula tak paham aplikasi. Ketika praktikum sekadar berorientasi pada (lagi-lagi) nilai, lalu menghalalkan budaya co-past walaupun sekadar dasar teori saja.
(Seharusnya) Pola Pikir Mahasiswa
Kembali ke pertanyaan di awal, salahkah ketika kita mengedepankan akademik kita dibanding hal-hal lain di dunia ini. tentu tidak ada yang salah kawan. Tapi akan menjadi salah ketika kita berhenti pada titik tersebut, titik dimana kita menjadikan dunia akademik adalah prioritas nomor satu. Secara alur, kita gambarkan dunia akademik sebagai pondasi. Tentu, ketika kita hendak membangun rumah, pondasi saja tidak bisa disebut rumah. seharusnya kita mulai berpikir luas kawan, apa yang bisa saya berikan untuk bangsa ini? hari ini, esok, di masa yang akan datang?? Kita mahasiswa coy, malulah kita ketika ternyata pola pikir kita tak jauh beda dengan anak SMA, SMP, bahkan SD, ketika orientasi menimba ilmu adalah nilai dan iming-iming dunia lain, seperti pekerjaan, penghasilan, dsb. Rubahlah pola pikirmu kawan.
Pola pikir mahasiswa seharusnya sudah lepas dari ‘apa yang saya dapatkan’ dan bergerak pada ‘apa yang bisa saya berikan’. Normatif mungkin, tapi dari pola pikir inilah akan tercipta perubahan-perubahan yang luar biasaaa. Kita seharusnya memahami bahwa ketika kita berpikir ‘apa yang bisa saya berikan’ apa yang kita pikir akan kita dapat adalah sebuah bonus.
Seorang mahasiswa seharusnya adalah sosok-sosok cerdas yang mampu bersuara membela rakyat. Perhitungannya matang dan berdasar ilmu pengetahuan. Idealisme yang membara menjadi pemicu semngat perjuangan.
Semoga saja, masih tersisa generasi mahasiswa yang tidak sekadar menjadi akademik sebagai satu-satunya tujuan menimba ilmu di kampus. Karena ilmu tak sekadar dinilai dari besaran IPK dan banyaknya nilai A dalam transkrip nilai. Lebih dari itu, ilmu adalah falsafah hidup yang seharusnya mampu mencetak kita, pola pikir, tindakan, ucapan, serta perilaku kita menjadi manusia Indonesia yang bermartabat. Dan sejatinya, ilmu yang bermanfaat tentu lebih baik dibanding ilmu yang mengendap di otak atau sekadar menghiasi buku catatan dan transkrip nilai. Dan yang lebih penting, semoga masih ada mahasiswa yang tidak lagi berpikir ‘apa ang didapat’ bukan ‘apa yang bisa saya berikan’. Dan semoga engkau yang membaca tulisan ini adalah generasi yang terbaik itu. Amiin. Wallahu’alam. [novi]
*)Judul dipinjam dari tulisan Soe Hok Gie, Wajah Bopeng Mahasiswa UI
0 komentar:
Posting Komentar